Sebuah Kritik untuk Ayat-ayat Cinta The Movie..

Bagi kalian yang gemar membaca buku-buku ataupun novel-novel islami  tebtu tidak asing mendengar nama Asma Nadia, yah dia adalah salah satu penulis ulung yang dimiliki oleh Indonesia, melalui karya-karya tulisnya yang bemakna. Tulisan berikut ini adalah Pendapat Mbak Asma Nadia mengenai Film Aya-ayat Cinta.

________________________________________________________________

Alasan apa yang menggerakkan saya, yang selama ini amat sangat
selektif menonton film-film lokal, dengan suka rela menyaksikan
Ayat-ayat Cinta?

Bukan karena saya jatuh cinta pada novel itu. Sejujurnya agak sulit
buat saya menikmati novel Ayat-ayat Cinta, yang menurut hemat saya
tidak lebih dari kisah cinta biasa, yang dibumbui nilai islam. Poin
lebih novel itu bagi saya adalah setting yang disuguhkan dengan
meyakinkan oleh Habib, dan wawasan keislamannya.

Saya tidak terkesan dengan penokohannya yang cenderung seragam. Tidak
pula terkesan dengan alur yang bagi saya biasa saja itu. Saya sulit
menerima beberapa logika yang ada.

Tetapi saya ikut bahagia bahwa novel itu menjadi bukti keberhasilan
seorang penulis muslim, dari Forum Lingkar Pena. Habib, yang bagi saya
tidak ubahnya adik itu berhasil membuktikan bahwa novel Islam bisa
sangat komersil. Siapa bilang harus mengumbar ketidaksenonohan untuk
membuat novel anda dilirik tidak hanya pembaca dalam negeri? Siapa
bilang novel menjual ketidakpatutan untuk bisa difilmkan?

Setulus hati saya berbahagia dan mengucapkan selamat untuk Habib. Dan
sebagai bentuk solidaritas dan sayang saya pula, maka saya anggukan
kepala ketika malam itu, kakak saya mengajak saya untuk nonton bareng
AAC usai acara di library@senayan bersama Nasanti, Pritha dan Ari.

Saya tahu banyak yang pesimis pada usaha memfilmkan sebuah novel.
Don’t judge the book by its movie! itu yang sering dikatakan orang:)
Tetapi ada juga bisik2 yang sampai ke telinga saya, mengatakan film
ini ditangan Hanung Bramantyo akan lebih dahsyat dari novelnya,
“Menurut Hanung, ini merupakan karya terbaik dia,” kata seorang teman
lagi. Begitu saja optimisme menyeruak di kalangan sebagian orang.
Novel best seller ditangan sutradara ternama, siapa yang meragukan?

Dan di situlah saya, duduk bersisian dengan Pritha mencermati adegan
demi adegan dalam film AAC. Saya tahu pasti tidak mudah memeras novel
setebal AAC menjadi bahasa visual dengan durasi 2 jam lebih itu. Dan
mustahil menyuguhkan selengkap versi buku. Tetapi beberapa film
sebutlah Lord of The Ring, Harry Potter, PS. I love you dll, konon
meski tidak penuh mewakili setiap detil di filmnya, tetap mendapat
sambutan baik. Pendeknya penonton tidak kecewa karena bisa menikmati
versi filmnya. Bagaimana dengan AAC?

Film berjalan lambat. Ada sedikit adegan lucu di awal yang sempat
membuat beberapa penonton tersenyum. Tetapi setelahnya film mengalir
datar tanpa konflik yang membetot seluruh rasa penasaran dan emosi
saya sebagai penonton. AAC tidak ubahnya cinta segiempat beda negara,
Fahri yang orang Indonesia, dengan Maria Girgis tetangga satu flat
yang beragama Kristen Koptik, Fahri dengan Nurul-ah yang ini sama2
Indonesia, lalu Fahri dengan Noura (Mesir), dan terakhir Fahri dengan
Aisha (German).

Menyaksikan cast satu-satu pemain, saya mulai merasa tidak kuat. Saya
merasa usaha sutradara untuk ‘membohongi’ saya dengan film ini
benar-benar keterlaluan. Bagaimana saya bisa memercayai bahwa Surya
Saputra sebagai orang German? Sementara sosoknya (bukan sekadar
berkulit putih ya…) kental di ingatan saya sebagai pemain film
Indonesia. Saya menolak memercayai Zaskia Mecca sebagai orang Mesir,
saya tidak bisa menerima Marini sebagai orang Mesir. Banyak lagi cacat
dari segi casting ini… Sutradara menempatkan pemain2 yang sudah
dikenal baik di Indonesia dan berupaya ‘memalsukan’ mereka, tidak
ubahnya sandiwara-sandiwara atau film-film zaman dulu di mana yang
berperan sebagai tentara Belanda adalah pemain dengan tampang
Indonesia juga. Parahnya pemeran yang dipilih punya sosok yang kadung
kuat di ingatan penonton.

Batin saya tersiksa menyaksikan pertemuan Fahri dengan Aisha di
kereta. Ketika seorang penumpang (ceritanya dia ‘orang mesir’) nyaris
berkelahi dengan Fahri dan menyebut, “Ya Indonesia!”
atau adegan lain ketika Fahri di penjara… di mana seorang dengan
tampang jelas2 Indonesia, bicara dengan bahasa Indonesia, tetapi
berperan sebagai bukan orang Indonesia, dan menyebut Fahri dengan
“Indonesia!”
Jeruk kok minum jeruk… begitulah perasaan saya.

Bagaimana dengan sosok Fedi Nurul sebagai Fahri? Dalam salah satu blog
saya membaca alasan utama Mas Hanung memilih Fedi: Fahri bukan lelaki
sempurna. Tapi yang membuat Fahri tampak sempurna karena dia sadar
bahwa dirinya tidak sempurna.”

Tapi Fahri versi Hanung Bramantyo tidak membuat saya teryakinkan bahwa
laki2 itu telah menjadi sumber patah hati akut hingga depresi begitu
banyak gadis. saya tidak jatuh cinta bahkan tidak juga bisa sekadar
menerima alasan kenapa para gadis itu sedemikian terobsesinya pada si
Fahri ini?

Perlu seseorang yang sangat amat kuat untuk memerankan Fahri hingga
penonton teryakinkan. Fahri di sini makin lama makin cengeng… Cara
berdirinya, caranya memandang, terutama cara membantahnya terhadap
Aisha, yang lebih terlihat sebagai gerutuan anak kecil kepada ibunya,
ketimbang protes atau nasihat seorang suami kepada istrinya (adegan
makan bersama dengan Aisha, Maria, dan ibunya dengan Fahri, adegan
laptop, pertengkaran ketika keluarga Nurul datang).

Logika cerita?
Nggak kalah kacaunya.
Proses menemukan Noura yang sudah setidaknya belasan atau bahkan 20
tahunan tertukar dari orang tua asli, terjadi secepat kilat. Pertama
Fahri meminta tolong seseorang, kemudian sim salabim… tanpa ada
proses yang terlihat (make a call perhaps? atau sedikit kesibukan lain
sebagai upaya pencarian?) adegan berikutnya adalah Noura bertemu
dengan orang tua kandungnya.

Adegan Fahri berta’aruf dengan Aisha pun sulit diterima logika.
Bagaimana bisa Fahri yang selama ini saleh dan memiliki konsep tentang
soul mate (jodoh) yang sedemikian, juga wawasan keislaman yang mantap,
dan karenanya belum juga menikah itu, dengan mudah memutuskan menikahi
Aisha hanya beberapa detik setelah Fahri memandang dengan tidak
berkedip wajah Aisha setelah membuka cadarnya… Yang membuat saya
membatin: fisik sekali… alasan Fahri menikahi Aisha! Tidak ada
diskusi, atau surat2an atau upaya mencari tahu dari pihak lain, yang
membuat Fahri mengenal cara pandang, kecerdasan, kelebihan2 lain dari
Aisha kecuali beberapa pertemuan singkat yang tidak membahas hal2 yang
esensi (Aisha jatuh cinta pada wawasan Fahri, oklah ada bbrp
lanjaran.. tetapi sebaliknya? Begitu mudah?).

Yang lebih meletihkan adalah adegan yang sebagian besar indoor, yang
benar2 membunuh justru kelebihan utama dari novel ini: setting.
Sia-sia berharap bisa melihat keindahan sungai Nil, dan Mesir.
Sekalinya ada adegan outdoor, jauh dari romantis malah terkesan norak
habis, adalah adegan Fahri berboncengan unta dengan Aisha di padang pasir.

Kekacauan logika lain, yang terlihat amat dipaksakan adalah permintaan
Aisha agar Fahri menikahi Maria yang terbaring koma. Fahri yang tidak
punya pendirian itu pun (utk orang secerdas dan sebagus itu pemahaman
islamnya, gitu lho:P) menurut, hanya sedikit menyampaikan bantahan
yang tidak meyakinkan. Btw terlihat dari awal pernikahan dengan Aisha
di mata saya Fahri terlihat tak ubahnya suami-suami takut istri:P

Dan ajaib, kunjungan sekali Fahri dan pernikahan kilat yang dilakukan
ketika Maria sedang koma, pun membangunan Maria dari koma panjangnya.
Sungguh luar biasa!

Secara keseluruhan, film AAC jauh dari proporsional. Di bagian
awal-awal yang tanpa konflik mendapat porsi lebih dari yang
seharusnya. Sementara adegan penting di mana konflik dimulai (tuduhan
terhadap Fahri) dan penyelesaiannya kurang mendapat porsi, hingga
meninggalkan ketidakjelasan di beberapa bagian.

Menonton AAC memberikan saya penderitaan yang tidak usai bahkan ketika
kami meninggalkan bioskop, dan berkendaraan pulang. Mungkin karena
sosok Fahri yang kurang meyakinkan itu lagi, saya sulit menerima
potret perempuan yang ditampilkan. Satu perempuan yang terobsesi dan
depresi karena cinta tidak bersambut, okelah. Tapi tiga??? Satu lagi,
saya tidak melihat ada penggambaran usaha Fahri mencari nafkah, selain
hanya disebutkan dalam kalimat sekilas (Penonton diberitahu, tidak
‘ditunjukkan’ ). ketidakterlibatan keluarga Aisha yang kaya ketika
Fahri dipenjara, juga sulit diterima, apalagi Fahri terancam hukuman
mati. momen yang rasanya amat membutuhkan dukungan keluarga.

yang saya tidak mengerti kenapa persoalan teknis (perpindahan adegan)
dan editing terasa kasar? Kalah oleh film2 Indonesia yang lain.
Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi dalam film besutan sutradara
sekelas Hanung Bramantyo.

Terakhir, dengan sebegitu banyak cacat yang membuat film AAC menjadi
kisah cinta klise yang membosankan, adakah kebagusan film ini?
Ada, salah satunya soundtrack film.
Apalagi?
Ah, beberapa penonton perempuan cukup mengejutkan kami berenam karena
mereka ternyata menangis. Tentu saja saya tidak boleh berprasangka
buruk bahwa mereka menangis karena sama tersiksanya seperti saya:).
Seperti kata seorang teman, “Bisa jadi film itu memang cukup memadai
buat sebagian penonton, tahu sendiri selera sebagian besar penonton
Indonesia… bisa diukur dari sinetron-sinetron di tivi. Film AAC
memang dibuat bukan untuk penonton macam ‘kita'”, katanya.

Bagaimanapun ada beberapa pesan al. ketidakberpihakan Habib pada
poligami tertangkap cukup jelas. lainnya AAC jelas jauh lebih sehat
dari film2 hantu belakangan ini yang cuma mencari efek menakutkan
penonton dan tidak berisi.

Maafkan kejujuran saya jika menyinggung beberapa pihak. Tapi bentuk
sayang dan peduli saya kira tidak melulu diekspresikan hanya dengan
pujian. Kritik selalu perlu agar kita, bisa memproses diri menjadi
lebih baik.

-asma nadia
http://anadia.multiply.com

34 responses to this post.

  1. Posted by Bakri B. Soedarno on March 12, 2008 at 3:04 pm

    Hmmm.. Kritiknya boleh lah… tapi yang saya liat lebih sekedar “mencari-cari” kesalahan, TIDAK LEBIH !!!!!

    Reply

  2. Posted by batsoto on March 13, 2008 at 12:35 am

    IMHO : Terlalu banyak yang mau disampaikan, terlalu banyak muatan islami, terlalu banyak idealisme, terlalu banyak simsalabim abrakadabra.
    Aisha orang kaya, ngapain dia klayapan di metro? setelah adegan pertemuan, tak ada lagi cerita naik kereta api, kemana mana pake mercy.. woow
    noura? berkomplot dengan pemerkosanya, berusaha membunuh salah satu penolongnya dan menfitnah lelaki pematah hatinya? antagonis sinetron aja nggak ada yang sesadis ini.
    mariya, tokoh mubazir, bangun dari koma dengan cara yang dramatis cenderung ajaib, matipun tak kalah dramatis. tak heran para gadis nangis. saya sih bingung apa yo ada yang kayak gini..
    lelakinya? mendekati perfect lah, tapi komputer kena virus aja bingung, mbok pake linux :)) mencurigakan.. komputer reyot, yang punya juga nggak kaya kaya amat, tapi pake windows..jangan jangan bajakan.. aih su’udzon.
    yah.. Selamat datang di dunia khayalan, jangan lupa bawa tisu.

    Reply

  3. Posted by arief on March 13, 2008 at 2:41 am

    yah memang klo dilihat dr segi penokohan pemeran yang dipilih memang jauh dari yg namanya pilihan tepat,tetapi yg saya suka dr film ini adalh pesan moralnya.saya lebih melihat adanya gambaran terhadap islam yang begitu indah.saya belum pernah melihat film bermuatan islam yg lebih baik dr ayat-ayat cinta(dibandingkan dgn kiamat sdh dekat).satu memori yang terbesit di pikiran saya pada saat saya menonton film ini..ISLAM adl SABAR DAN IKHLAS…….

    Reply

  4. Posted by rio on March 13, 2008 at 12:37 pm

    nah! ini baru review!
    good review for a not-so-good film…

    Reply

  5. ehmm…udah baca commentnya smua, yg aku liat emang hanya mencari2 kekurangan. mbak Asma nadia kan jg pengarang novel yg pgn sukses juga kan spt Habib??okelah review-nya, tp keliatan byk banget cacatnya ya??capek deh…. aku baca novel ayat2 cinta jg karena ibuku yg merekomendasikannya, brati menurutku ayat2 cinta emang bgs kok..walopun mgkn juga cuma cerita cinta, tp emang smua perempuan pgn punya suami spt Fahri, walopun aku jg gak setuju dgn poligami, tp menurutku, klo poligami spt itu, bs diterima kok alasannya..bukannya istri klo mw di poligami dpt payungnya Aisyah di akhirat nanti??

    mbak, jangan sadis2 gitu dong..smua jg pernah punya kekurangan kan??masalah film, aku jg gak setuju dgn penokohannya, aku gak nyangka mas Hanung milih Fedi Nuril sbg Fahri..dan org2 yg lainnya..

    segitu aja deh..tp menurutku, filmnya lumayan lah..not so good but not bad..menurtku ISLAM emang SABAR dan IKHLAS..

    Reply

  6. Posted by almisqy on March 14, 2008 at 11:58 pm

    menurut saya memang film tersebut jauh dari ajaran islam tentang poligami yang syar’i. masa dua istri hidup dalam satu rumah dengan satu suami. poligami yang sesuai tuntunan syariah yaitu masing-masing istri dipisahkan tempat tinggalnya dan suami menginap dirumah masing masing istri secara bergantian. misal seminggu di rumah si A seminggu dirumah si B, seperti yang diajarkan Rosululloh SAW. jadi ga nyampur jadi satu serumah gitu. Memang si “Fachri” yang katanya mahasiswa S2 al azhar itu ga paham sunnah nabi ya….?
    karena itu ini bukan film dakwah, coba bedakan ya saudaraku…
    dakwah dibangun bersumberkan dari hal yang benar yaitu alqur’an dan sunnah, bukan dari novel fiksi.

    Reply

  7. Posted by Rachma on March 15, 2008 at 7:21 am

    hanya ingin bilang, jika ingin mengkritik, lbh baik ke ‘yang bersangkutan’, sy rasa itulah Islam: Ikhlas dan Sabar. Ikhlas menulisnya (menyampaikannya) kepada orgnya lgsg (Kang Abik/Mas Hanung), dan sabar (sabar, hendaknya tdk dipublish sblm terlebih dahulu disampaikan pd ybs, atau ‘permisi’ dl sblm mempublish, sy rs itu lbh bijak).

    thx

    Reply

  8. Posted by boim on March 18, 2008 at 10:32 am

    semua kembali lagi pada imanmu
    kritikanya ok
    nambah satu lagi, pada saat fahri menjawab salam orang non muslim (di situ sebagai alicia reporter amrik) kok jawabannya waalaikum salam padahal kan tidak boleh???
    saya sih belum baca novelnya kurang (suka baca2 novel)

    Reply

  9. Posted by Fauzan on March 18, 2008 at 11:33 am

    Buat Mbak Asma Nadia : Kritiknya cukup tajam dan bagus sekali mengenai film Ayat2 cinta yang sebenarnya ‘keluar jalur’ daripada pesan yang disampaikan oleh Habib, penulisnya. Tapi mbak nadia terlebih dahulu mengkritik novelnya dan memiliki asumsi tertentu tentang novel habib yang biasa2 itu (penilaian subjektif) lalu mengkritik pula filmnya. Sebenarnya mbak nadia ini kritikus novel atau film??? Jika mbak nadia melakukan keduanya, maka terkesan mbak akan mencari2 kesalahan saja. Saran saya, kritiklah salah satunya. Jika mbak sebagai novelis, nah kritiklah novelnya, bukan filmnya. Atau sebagai penonton, kritiklah filmnya, bukan novelnya. Jangan seperti pendekar dengan 2 pedang dan menebas ke sana kemari membabi buta. Mendingan pegang satu dengan mantap dan fokus.

    Buat penggemar FILM AAC : Film ini gagal menampilkan pesan sesungguhnya dari novel aslinya. Saya berkeyakinan bahwa film ini bisa saja dibuat seperti novel aslinya, tapi kenapa sutradara justru ‘banyak membelokkan’ sehingga tidak tampak ‘sentuhan habib’ di sana? Yang jelas film ini hanya dipersiapkan untuk tujuan komersil. Mengapa? Karena sukses besar novel AAC sehingga siapa sih yang tidak tertarik untuk tidak memfilmkannya dan meraih keuntungan besar pula? Dan emang strategi ‘murahan’ semacam ini sebenarnya tidak layak dilakukan pada film2 yang bernafaskan Islam. Selain mempropaganda ‘fitnah terselubung’, juga mencontohkan sesuatu yang tidak pada tempatnya.

    Reply

  10. Posted by Hamba keluyuran on March 19, 2008 at 5:38 pm

    Dakwah Melalui film???????
    Adalah : BERCAMPURNYA YANG HAK DAN YANG BATHIL!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!. Indahnya ayat – ayat cinta cukup sampai dibuku tidak lebih!!!!!!!!!!

    Reply

  11. mencari kesalahan sana sini ternyata lebih gampang ketimbang menerima apa adanya…jangan sombong wahai manusia!!!!! laa haula walaa quwwata illa billah

    Reply

  12. ada yg kebakarang jenggot, padahal ga punya jenggot. heheheh

    Reply

  13. Posted by Just Say on March 23, 2008 at 1:12 am

    Ass. Saya tdk trima jika saya dianggap org yg menangis krn ‘tersiksa’. Saya tmsk sering bc buku2 Asma Nadia. Tp kok kyk gini y klo ngritik. Seperti nyari2 ksalahan. Sya stuju dgn pndapat anda soal pengkastingannya. Tp slebihnya…. . No body’s perfect ukhti..

    Reply

  14. Posted by Just Say on March 23, 2008 at 1:22 am

    Bnyak org yg lebih suka nonton dr pada baca. Kita hrs brdakwah utk smua kalangan, jgn hnya sebatas buku2 saja.

    Reply

  15. nunggu coment2 selanjutnya dulu dagh

    Reply

  16. Posted by reZa on March 31, 2008 at 4:42 am

    biasa lah orang non muslim tu yang kritik ,,

    emank mnrut gw filmny jelek bgt daripada novelnya… beda jauhhh,,, but,, mnrut gw yg kritik tu IRI atas KEBERHASILAN FiLM AAC tidak lebih daripada itu,, ! ! wkwkwkkwkw…..

    Reply

  17. Posted by reZa on March 31, 2008 at 4:43 am

    biasa itu mah,…

    orng yang IRI gak usah di ledenin….. cape deh… EGP ah…

    Reply

  18. Posted by reZa on March 31, 2008 at 4:44 am

    terus gimana tanggepan loe ttg FILm FITNA ????

    terus gimana tanggepan loe ttg FILm FITNA ????

    terus gimana tanggepan loe ttg FILm FITNA ????

    terus gimana tanggepan loe ttg FILm FITNA ????

    terus gimana tanggepan loe ttg FILm FITNA ????

    mnrut lu FILM FITNA BAGUS BGT ya ??? orang IRI .. !

    Reply

  19. syukurlah ada yang bilang AAC itu bagus dan ada yang bilang itu Buruk atau bermasalah……kedua hal itu membuktikan bahwa ada apresiator novel dan film di negeri ini.
    akan tetapi, lebih bijaksanya jika kritik itu dipandang sebagai sesuatu yang positif dan dapat menjadi pondasi bagi penulis lain dengan tema lain yang mudah-mudahan lebih baik.

    satu hal yang perlu dicatat oleh para apresiator novel AAC, sekiranya juga dapat lebih bijak jikasanya ada apresiator yang melakukan kritik akademik/prinsip akademik untuk menimbang/meninjau karya tersebut dengan sekumpulan teori sebagai pisau bedah untuk melihat karya itu.

    cara membaca antara kritikus dengan orang awam memang beda. dan seorang kritikus belum tentu dapat menulis karya sastra. itu wajar saja karena kritikus sastra dan penulis sastra memang beda. keduanya berjalan di rel yang berbeda. jadi, jika ada yang mengkritik dan belum tentu bisa berbuat, itu sah-sah saja dalam gejolak intelektualitas. nich problema!

    AAC sepenuhnya bukan ide baru!!
    beberapa tahun yang lalu saya sudah pernah membaca Ayat-Ayat Api juga, kalau tidak salah ada buku Ayat-Ayat Setan karya Salman Rusdie…mudah-mudahan saya tidak salah jika mengira bahwa ide Bang Abi lahir dari sana. dalam kata Ayat-Ayat

    karya sastra adalah Fiktif. jika ditelisik dan diperdebatkan lebih jauh, sastra punya kandungan metafora dan semiotika. metafora dan semiotika adalah kebohongan. dan seorang penulis adalah pembohong yang kreatif.
    sambil bercanda” saya mau bilang…bang abi berdakwah dengan media kebohongan
    Sepakat?

    sesuatu yang instant booming biasanya berumur pendek!

    Reply

  20. Selain perihal poligami yang telah dikoreksi oleh almisqy di atas, ada hal lain yang juga patut untuk dikritisi, yaitu tentang perbedaan antara turis dan ahlu dzimmah.

    Lebih lengkapnya antum bisa lihat di blog saya, atau langsung di situs arrahmah.com.

    Bukan sekedar kritik dari sisi estetis penampilan, namun lebih mendalam mengenai syariat yang ada dalam kisah-kisah novel tersebut.

    Reply

  21. Posted by badret on April 5, 2008 at 4:30 am

    yang jelas india-india ke****t (Cencored by admin) itu makin kaya aja. dan loe orang islam berbondong-bondong memperkaya punjabi2 si***n itu. bayangkan miliaran rupiah ketangan mereka, coba tuh diut dipake buat fakir miskin, bangun sekolahan, ngemajuin iptek indonesia. loe semua gampang banget dikecoh ama punjabi. cuma ditampilin ayat2 quran,jilbab,bahasa arab loe semua langsung nilai ini film dakwah islam. what a naive!!. sekarang punjabi banyak duit dan siap2 lagi bikin sinetron2 konyol dan idiot.

    Admin: Sory saya sensor, blog saya bukan ajang untuk saling menghina.

    Reply

  22. Posted by Dd on April 9, 2008 at 10:00 am

    Dulu…sebelum baca ini, saya penggemar novel-novelnya asma nadia, tapi setelah baca ini, jadi tau aslinya asma nadia yaitu orang yang bisanya kritik. Novel-novel anda memang bagus, yg tidak bagus hanyalah orang yg mengarangnya.

    Reply

  23. niyhhh kalo mau liat aac versi asli, Ssstttt,.. cuma ada disini,.. kalo masih ada http://dhafay73.peperonity.com

    Reply

  24. Posted by rhs on April 21, 2008 at 8:36 am

    ass.
    seorang AN memang ga sepantasnya mengeluarkan kritikan yang dipublikasikan spt ini…(malah terkesan spt mau mencela sesama penulis novel)
    klo mo kritik mbok ya ke orangnya langsung
    tapi qta jgn ampe terbawa emosi jg coz ada benernya jg apa yg dkatakan AN.aq jg bingung waktu nonton film AAC, dari alur crita yg membingungkan sampe tokohnya yang ga sesuai.(ingat manusia tidak ada yg sempurna, Kesempurnaan hanya milik Allah) apalagi ciptaan manusia, pasti jauh dr sempurna.
    sutradara cuma berusaha untuk menyuguhkan tontonan yang bisa menjadi tuntunan.
    qta cuma perlu mengambil hikmah yang ada di film tsb.

    trima kasih
    wass.

    Reply

  25. Posted by aris on April 22, 2008 at 10:00 am

    assalamu alaikum mba’..

    to tell u the truth ya, saya 100% setuju sama mba’ asma. Starts from opinion ttg bukunya maupun filmnya. Kalau menurut saya, mba’ asma cukup objektif dalam deliver kritik ini. Memang dari awal, saya berpendapat yg sama. Bahkan menurut saya film ini agak maksa’. Paling gak setuju sama orang2 arab yg tadinya berbahasa arab tiba2 bisa bahasa indonesia. trs muka bapak2 jawa yg dijadiin kepala penjara, i mean, what was that?? Jadi ngerasa dibodohi.

    Tapi mungkin cara penyampaian mba’ asma sendiri yang mungkin terkesan agak pedas dan sedikit emosi.. jadi ada beberapa teman2 yg kasih komen di sini menganggap mba’ asma iri mungkin sama kesuksesan novel tsb. Padahal mudah2an gak ya, mba’..

    Buat temen2 yg kasih komen pedes sama kritikannya mba’ asma.. mbok ya, jangan galak2, namanya juga pendapat orang kan beda2..

    BTW, saya buka blog nya yg di multiply. OK banget mba’..
    and my mom is a fan of yours.. hehe :p

    wassalam

    Reply

  26. Posted by azzztreeee on April 23, 2008 at 12:34 pm

    assalamualaikum mas…

    wah klo film AAC hrs detail, durasinya ampe brp jam coba? hehehe… bs2 rekor durasi AAC nyaingin durasi wayang yg cm semalem suntuk hehehe…

    gitu aja loh mas hehehe.. saya dah nonton AAC, ya wajar lah kilat g detail ky novel. tp g menikmati filmnya nih gr2 brisik sm suara cewe cowo yg pada nangis sesenggukan di dlm bioskop hahaha… saya sih g nangis hehehe…

    wassalam

    Reply

  27. Posted by anita on May 10, 2008 at 8:40 am

    oke deh mbak asma nadia, salut banget sama kritisinya. setuju banget..
    ini film paling ga adil menurut saya.. dalam segi apapun.
    tapi ada satu dari mbak asma nadia yang saya ga setuju, soal soundtracknya…
    aduh mbak…
    menurut aku soundtracknya kurang “nendang”banget.., lagunya Rosa ga ngangkat film ini menjadi lebih greget. berasa ga jauh beda kaya nonton sinetron di tipi. ya kan??
    film indonesia emang payah abiss..

    Reply

  28. diliat-liat film ini merupakan pembodohan bagi kaum perempuan.kok mau-maunya dipoligami.sekarang kan da emansipasi perempuan.

    Reply

  29. Posted by man on May 20, 2008 at 6:09 am

    Filem ini jauh menyasar dari novel yg sebenar. Tidak ada unsur2 islamik langsung yg ditonjolkan dalam filem ini. Seawal2 pembukaan cerita sudah ditunjukkan bagimana sewenang2nya Fahri mempersilakan Maria seorang diri, tanpa muhrim, masuk ke rumah yang dihuni pelajar2 lelaki al-Azhar. Sungguh menghina Islam sebenarnya.

    Sebaliknya di dalam novel Fahri adalah seorang yg sungguh2 menjaga soal muhrim, berpandangan dgn wanita dsb.

    Reply

  30. Posted by m 13th on May 21, 2008 at 10:58 am

    terserah apa kata kalian deh!!
    aku susah ngomongnya!!
    bnyk kta2 yg pengen aku curahkn dgn scr lsg,,dgn face to face.
    capek klu lewat tulisan

    Reply

  31. Posted by hidup on June 14, 2008 at 7:45 pm

    Akhirnya terbukti bahwa film tersebut mmg sangat buruk…

    -Pembodohan kaum wanita dgn menyisipkan pesan “poligami itu indah” melalui jubah islamnya…
    -Sedikit terdapat pesan islamisasi…

    Selamat buat pak sutradara dan penulis…lagi2 anda menjadi salah satu provokator pemecah+pembodohan bangsa kita…

    peperangan diatas merupakan buktinya…

    Reply

  32. Posted by maya on October 7, 2008 at 8:39 am

    gw termasuk salah satu orang yang ngaggep novel AAC tu sebenernya biasa2 aja. Tapi, dari banyak review yg gw baca, banyak orang yang terinspirasi n berubah menjadi baik setelah baca novel ini. Jadi, menurut gw novel AAC tu okelah dalam segi dakwah, tapi dalam segi cerita, terlalu SEMPURNA n ceritanya dramatisasi banget…

    terus terang, menurut gw film AAC juga gak bagus. Palingan yang keren cuma scene-nya aja. Selebihnya, nooo. Gak lebihnya sinetron bersetting Mesir… India banget!!! (mungkin krn besutan Punjabi kali yaa jadi gitu)Tapi oklah dibanding film2 Indonesia lainnya. Menurut gw, dibandingin ma film Laskar Pelangi sekarang, jauuh…

    Pendapat Mbak Asma nggak bisa disalahin, coz gw termasuk orang yang suka bertanya dalam hati, “kenapa orang2 muji AAC segitunya ya??”, tapi mungkin menurut gw kurang etis aja klo sesama pengarang novel ngeritik doank, tanpa ngereview kelebihan dari novel ini, yang disukai, atau nggak, menjadi novel terpopuler di Indonesia, selain Laskar Pelangi…

    Reply

  33. Posted by wiskun on April 5, 2009 at 2:08 pm

    wahhh…. pas sy nonton aac memang merasakan ketidaksesuaian antara cerita di novel dan film, sy berharap mendapatkan kejutan yang positif dari dibuatnya film aac ini, tetapi kekecewaan yang sy dapatkan. ternyata sutradara film aac ini kurang bisa mencermati maksud dari novelnya mungkin maksud sutradarany biar lebih komersil tp bg sy leeeebaaaayyyy. buat asma nadia kritikannya bagus tp terlalu vulgar shg yg baca merasakan ada emosi yang amat sangat. tx

    Reply

  34. Posted by mays el hamra on January 20, 2014 at 9:29 am

    n bwt yg udah komen2 d atas….makasih juga… udah nambah inspirasi ku.. dlm mengkritik film

    Reply

Leave a reply to Just Say Cancel reply